Suma.id: Para pendatang berdecak kagum sekaligus kebingungan saat menginjakkan kakinya di Pulau Sumatra. Alamnya indah dan kekayaan begitu melimpah. Akan tetapi, akses jalan yang masih terjal dan terputus-putus membuat mereka berpikir keras untuk membuka terusan agar hasil bumi yang dibidiknya bisa dengan mudah diangkut keluar.
Di beberapa periode sebelumnya, ikhtiar itu sudah kerap dilakukan namun gagal. Baru pada 1916, Pemerintah Hindia Belanda mengupayakan jalur tembusan yang kelak dikenal sebagai Jalan Raya Lintas Sumatra (Jalinsum).
“Dengan adanya hubungan jalan raya ini, praktis pengangkutan hasil-hasil perkebunan di Sumatra terutama kelapa sawit dan karet menjadi semakin lancar dan menyebabkan harga-harganya di pasar melambung,” tulis sejarawan Asia Tenggara, Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan dunia (2011).
Bada: Sumatera Apa Sumatra?
Dampak ekonomi
Dampak meroketnya harga hasil kebun itu, impor mobil pribadi dan truk turut meningkat tajam. Dalam bukunya, Reid mencatat, pada 1924–1926 jumlah mobil pribadi yang diimpor naik dari 539 menjadi 3.059 unit.
“Adapun truk yang diimpor meningkat tajam dari 94 menjadi 1.172 unit,” tulis dia.
Reid mengungkapkan, pembangunan Jalinsum baru selesai pada 1938. Target utamanya ialah menghubungkan Medan, Padang, dan Palembang.
“Masing-masing dari ketiga kota besar ini merupakan pusat jaringan kereta dan jalan raya,” tulis Reid.
Jaringan kereta sudah terlebih dulu digagas kolonial Belanda. Pada 1903, sebuah konsesi pembangunan jalur kereta api di wilayah Sumatra Selatan, Bengkulu, dan Lampung diajukan. Proposal konsesi berjudul Rapport der Spoorwegwerken Midden in Zuid Sumatra itu diusulkan Ir. K.J.A. Ligtvoet.
Sebagai jawabannya, Pemerintah Belanda membentuk divisi dari Staatsspoorwegen yang diberi nama Zuid-Sumatra Staatsspoorwegen. Jalur pertama jaringan kereta Sumatra adalah Pelabuhan Panjang menuju Tanjungkarang, Bandar Lampung yang dibangun pada 3 Agustus 1914.
Baca: Marco Polo Merekam Sumatra
Membuka mata dunia
Masih dalam buku yang sama, Reid menceritakan, pada 1917 pemerintah kolonial kembali membangun jalan raya untuk mengubungkan Medan dan Pematang Siantar. Kemudian diteruskan ke Parapat, di pesisir Danau Toba.
Dengan dibukanya Jalinsum, kawasan Toba terdampak kian modern. Keindahannya menjadi rujukan wisata dan buah bibir penjelajah dunia.
Motivasi lain pemerintah kolonial Belanda membangun jalur penghubung Sumatra karena didorong persaingannya dengan Amerika Serikat (AS) untuk menancapkan kuku di Jambi pasca Perang Dunia I. Selain itu, Belanda juga secara sentimen membuyarkan potensi jalur laut yang sudah dikuasai masyarakat lokal.
Belanda sengaja menggeser jalur transportasi dari laut ke darat. Usaha pertamanya menghubungkan lintas timur dan barat Sumatra pun mulai terwujud.
Reid menceritakan, mulanya Belanda menyasar minyak. Akan tetapi, potensi karet di Jambi nyatanya tak kalah menggiurkan. Puncaknya, pada 1937, harga karet kian mahal dan membuat pengusaha lokal untung besar dan berimbas kian banyaknya pemilik mobil yang melintasi jalur Sumatra.
“Taktik serupa rencanananya akan dikembangkan di kota-kota lain. Namun pada 1942, Jepang keburu datang mengobarkan Perang Asia Timur Raya. Pulau Sumatra menjadi basis bagi tentara ke-25 Angkatan Darat Jepang (Rikugun) dengan markasnya di Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Pengembangan dan pembangunan jalan Trans Sumatra pun terhenti untuk sementara waktu,” tulisnya.
Baca: Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Pertama Sumatra dan Satu-satunya
Tiga orde
Gagasan pengembangan Jalinsum kembali dimunculkan pada 1964. Presiden Sukarno mencanangkan pembangunan 2.400 kilometer dalam rentang waktu 10 tahun.
Presiden Sukarno membentuk penyelenggara pembangunan Otorita Jalan Raya Lintas Sumatra. Proyek ini memfokuskan pada pengembangan jalan kawasan tengah dan selatan Sumatra. Sedangkan kawasan utara sudah masuk tahap pengaspalan.
Di pengujung 1965, rezim Sukarno berakhir. Akan tetapi gagasan pembangunan jalur Sumatra dirawat Orde Baru dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I dari 1969 sampai 1974. Berbeda dengan Sukarno, Presiden Soeharto sekuat tenaga mengarahkan konsentrasi megaproyek ini pada pembangunan keseluruhan jalur, yakni Jalur Tengah, Jalur Timur, dan Jalur Barat.
Setelah lama senyap, pembicaraan seksi keterhubungan jalur Sumatra kembali muncul pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya saja, melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 100/2014 itu berisi instruksi percepatan pembangunan jalan tol di Sumatra, bukan lagi bertumpu pada Jalinsum dan sejarah panjang pembangunannya.