Suma.id: Ada sekitar 83.800.000 hasil yang muncul hanya dalam waktu 0,65 detik ketika pengunjung mengetikkan kata “Sumatera” di mesin pencari situs Google. Sedangkan jika menuliskannya dengan gaya “Sumatra” (tanpa vokal e) pencarian cuma menyajikan sekira 42.200.000 hasil dalam 0,74 detik.
Penulisan “Sumatera” -lengkap dengan huruf e- untuk menyebut nama pulau terbesar ke enam dunia itu rupanya lebih masyhur. Padahal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) telah mewanti-wanti penulisan yang benar untuk pulau di wilayah barat Indonesia ini dengan lafaz “Sumatra”.
Berasal dari samudra
Paul Michel Munoz dalam Early Kingdoms of The Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula (2007) menyebut, penyematan kali pertama nama Sumatra disitat dari gelar seorang raja Sriwijaya, Haji Sumatrabhumi. Ia dinobatkan sebagai raja tanah Sumatra setelah memperkokoh posisinya dengan menjalin hubungan dengan Tiongkok pada 1017. Di Negeri Tirai Bambu, Haji Sumatrabhumi lebih karib disapa Ha-ch’i-su-wa-ch’a-p’u.
Versi lain menegaskan kata Sumatra justru terilham dari penyebutan Samudra. Hal ini muncul di lingkungan sebuah kerajaan di Aceh pada abad 13 dan 14. Terlebih, para penjelajah Eropa menjadikan nama kerajaan itu sebagai sebutan seluruh pulau sejak abad 15. Hal ini, sama persis ketika mereka menyebut Kalimantan dengan nama Borneo yang disandarkan dari nama daerah yang pertama kali mereka singgahi di bagian paling utara, yakni Brunai.
Seorang pendeta sekaligus penjelajah asal Eropa abad pertengahan, Odorico da Pordenone menuliskan kisah pelayarannya di tahun 1318. Ia menceritakan telah berlayar dari Koromandel, India menuju timur selama 20 hari, hingga sampai di kerajaan bernama Sumoltra.
Sementara dalam Rihlah ila al-Masyriq, penjelajah masyhur Ibnu Bathutah mengaku telah singgah di kerajaan Sumatrah. Dari pencatatan tahun 1345 itu, kemudian diadopsi para musafir lainnya untuk menyebut nama-nama daerah di Aceh dan sekitarnya.
Swarabakti
Penulisan versi Sumatra dan Sumatera terpengaruh dari kaidah epentesis dalam studi pengucapan bahasa. Dalam kajian bahasa Indonesia, menyisipkan vokal dalam epentesis dikenal dengan istilah Swarabakti, diserap dari dari bahasa Sanskerta, svarabhakti.
Wikipediawan sekaligus pemerhati bahasa, Ivan Lanin menjelaskan epentesis adalah penyisipan bunyi atau huruf ke dalam kata, terutama kata pinjaman untuk memudahkan pelafalan atau menyesuaikan dengan pola fonologis bahasa peminjam, misalnya penyisipan “e” pada kata “kelas”.
“Berdasarkan jenis bunyi atau huruf yang ditambahkan, epentesis dibagi menjadi ekskresensi, yang menambahkan konsonan, dan anaptiksis yang menambahkan vokal. Berdasarkan lokasi penambahan, epentesis pada awal kata disebut protesis, misalnya ‘mpu’ menjadi ’empu’, sedangkan epentesis pada akhir kata disebut paragog, misalnya ‘adi’ menjadi ‘adik,” tulis Ivan, disitat dari blog-nya, Kamis, 4 Februari 2021.
Dalam KBBI, Swarabakti diartikan sebagai vokal pendek yang disisipkan dalam proses anaptiksis. Pelafalan “Sumatera” lengkap dengan “e” merupakan hasil proses anaptiksis karena dianggap berasal dari bahasa Sanksekerta, Sumatra.
Penyisipan vokal pada serapan ini mula-mula digagas Charles Adriaan van Ophuijsen, peneliti bahasa Melayu asal Belanda. Ia berpendapat bahwa gugus konsonan yang terdapat pada satu suku kata dari kata serapan wajib dipisahkan Swarabakti “e”, contohnya, kata “putera” dari bahasa Sanskerta “putra”.
Hanya saja, pendapat Ophuijsen ini pada akhirnya ditentang pakar bahasa Indonesia, Jusuf Sjarif (JS) Badudu. Dalam Inilah bahasa Indonesia yang benar (1991) ia menegaskan, adanya gugus konsonan dalam bahasa Indonesia tidak menimbulkan kesulitan apa pun dalam lafal bagi pemakai bahasa Indonesia.
Kedua, Badudu menghendaki ejaan kata pungut dalam bahasa Indonesia tetap dekat dengan ejaan asli kata asalnya.
“Dalam pemungutan kata asing kita sukar menghindari adanya gugus konsonan. Kalau kata bahasa Belanda instructuur diindonesiakan sesuai pedoman Ophuijsen, misalnya, kita akan menyerapnya menjadi in-se-te-ruk-tur,” tulis Badudu.
Naga-naganya, penulisan baku Sumatra tanpa Swarabakti “e” memang hasil pertimbangan teori Badudu yang dinilai lebih konkret dan rasional. Hanya saja, penulisan kata “Sumatera” masih banyak ditemukan di papan-papan nama instansi dan bahasa hukum.