Suma.id: Bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Lawati At-Tanji bin Battutah, penjelajah asal Maroko abad pertengahan ini telah menghabiskan nyaris separuh usianya untuk berkeliling dunia.
Dalam rentang 24 tahun, Ibnu Battutah berhasil menyinggahi 44 negara modern. Kisah-kisah perjalanannya termaktub dalam Tuhfat al-Nuzzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ’Aja’ib al-Asfar (Hadiah bagi Para Pemerhati Negeri-negeri Asing dan Pengalaman-pengalaman Ajaib) atau masyhur disebut Ar-Rihlah Ibnu Battutah.
Ibnu Battutah tercatat telah melintasi Afrika Utara, Tanduk Afrika, Afrika Barat, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Tiongkok. Termasuk, kisah-kisahnya saat berlabuh di Pulau Sumatra tersaji dalam Ar-Rihlah dengan begitu istimewa.
Baca: Sumatera Apa Sumatra?
Kemenyan Jawa
Titik awal pengembaraan sosok yang lahir pada 24 Februari 1304 ini dimulai pada 1325. Mula-mula, Ibnu Battutah kekeh untuk bertolak dari tanah kelahirannya di Tangier, Maroko menuju Mekah untuk berhaji.
Sejarawan Amerika Serikat (AS), Ross E Dunn, dalam The Adventures of Ibn Battuta (1986) menyebut, Ibnu Battutah berangkat ke Tanah Suci via jalur darat.
Ia menyusuri kawasan pesisir Afrika Utara dan melintasi wilayah Kesultanan Bani Abdul Wad dan wilayah Bani Hafsi.
Ibnu Battutah kemudian melintasi Kota Tlemsan, Bijayah, dan singgah selama dua bulan di Tunis. Ia juga melewati Alexandria, Damaskus, Madinah, hingga tiba di Mekah.
Dunn menceritakan, Ibnu Battutah selalu memulai perjalanannya dengan mendompleng rombongan kafilah demi terhindar dari aksi begal dan perampokan.
“Alih-alih pulang ke Maroko selepas berhaji, Ibnu Battutah malah ingin terus berkelana dan memutuskan untuk bertolak ke arah timur laut menuju Ilkhanan, salah satu dari sekian banyak negeri yang diperintah Khan dari Mongol,” tulis Dunn.
Ibnu Battutah melanjutkan perjalanannya dengan menelusuri Jazirah Arab, Somalia, Pesisir Swahili, Anatolia, Asia Tengah, India, hingga kemudian tiba di Pulau Sumatra.
“Setelah berlayar dua puluh lima hari (dari India), kami mencapai Pulau Al-Jawa. Itu pulau dari mana kemenyan Jawa mendapatkan namanya. Kami melihat pulau itu dari jarak yang jauhnya setengah hari berlayar. Pohonnya banyak. Termasuk kelapa, palem, cengkeh, gaharu, pepaya, jeruk manis, dan kapur barus,” kisah Ibu Battutah dalam Ar-Rihlah.
Dalam penelitian Dunn, penyebutan Sumatra dengan Al-Jawa merupakan sesuatu yang lazim pada zaman pertengahan.
“Misalnya, penjelajah Italia, Marco Polo menyebut Sumatra sebagai ‘Jawa yang kecil’,” kata Dunn.
Penyebutan itu juga umum digunakan para pedagang Arab dengan nama Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Sebutan itu diambil dari nama luban jawi (kemenyan Jawa) kerap mereka olah dari batang pohon Styrax sumatrana, yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra.
Samudra Pasai
Kedatangan Ibnu Battutah di Sumatra disambut Panglima Kesultanan Samudra Pasai, Syarif Amir Sayyir Al-Syirazi, pada akhir musim dingin 1345. Sang Panglima melakukan penyambutan Ibnu Battutah atas perintah Sultan Samudra Pasai, Mahmud Malik Zahir.
Di Pasai, Ibnu Battutah singgah selama dua pekan. Sepanjang keberadaannya di kesultanan Islam pertama di Nusantara itu, ia mengaku terkesan atas penyambutan yang ramah dan penuh kehangatan.
“Sultan Jawa (Sumatra), Al Malik az-Zahir, adalah penguasa paling mahsyur, terbuka, dan melindungi ahli-ahli agama. Ia sering terlibat dalam perang agama (melawan orang-orang kafir) maupun dalam misi penyerangan. Namun, dia juga seorang pria yang rendah hati yang akan berjalan kaki pada saat sembahyang Jumat. Rakyatnya juga senang berperang demi membela agama mereka dan bersedia ikut di dalam misi penyerangan secara suka rela,” tulis Ibnu Battutah.
Sejawarawan Asia Tenggara asal Selandia Baru, Antony Reid, dalam An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra (2005) menceritakan, pertemuan Ibnu Battutah dan Sultan Malik Zahir terjadi pada hari ke empat setelah kedatangannya di Aceh.
“Hal ini berdasarkan adat setempat bahwa tamu dari jauh dipersilakan istirahat selama tiga hari sebelum bertemu Sultan,” tulis Reid.
Ibnu Batutah menemui Sultan Malik usai melaksanakan salat Jumat di Masjid Utama Kesultanan Samudra Pasai. Setelah berjabat tangan, Sultan Malik meminta Ibnu Battutah duduk di sebelah kirinya. Sultan juga menanyakan kabar penguasa Maroko, Sultan Muhammad. Ibnu Battutah juga diminta menceritakan pengalamannya mengarungi samudra.
“Ia (Sultan) tetap berada di dalam masjid hingga doa-doa sore selesai dikumandangkan,” tulis Ibnu Batutah.
Setelah merasa cukup berada di Samudra Pasai, Ibnu Battutah berniat melanjutkan perjalannya ke Tiongkok. Saat hendak berlayar, Ibnu Battuta menceritakan bahwa Sultan Malik Zahir memberikan kehormatan kepadanya dengan melengkapi persediaan makanan di sebuah jung (perahu besar).
“Sang sultan malahan juga mengirim seorang pejabat istananya untuk memberikan pelayanan yang baik pada acara makan-makan di kapal,” kata Ibnu Battutah.
Perjalanan Ibnu Battutah dari Sumatra ke pesisir pantai Tiongkok Selatan ditempuh selama empat bulan.
“Dalam perjalanannya pulang dari Tiongkok ke India, Ibn Batttutah mampir sekali lagi di Samudra untuk mengganti kapal. Dia kembali mengunjungi istana Sultan Malik Zahir selama beberapa minggu. Ketika itu sultan baru saja pulang berperang dan membawa banyak tawanan perang,” tulis Reid.
Dari kesan penyambutannya di Samudra Pasai itu, Ibnu Battutah kemudian menuliskan nama lain dalam redaksi catatannya dengan sebutan “Samudra”. Hingga abad 15, peta-peta navigasi Arab turut mengadopsi sebutan itu dengan lafaz Shumutra.