Suma.id: Buzurjumhur Hakim pun pergi pula ke kedai orang merendang daging kambing, lalu ia berkata: “Beri apalah daging kambing//… kambing rendang ini barang segumpal.” Sahut orang merendang itu, “Berilah harganya dahulu.” Maka kata Khoja Buzurjumhur…//
Rendang terekam di banyak catatan kuno berupa catatan perjalanan, kompilasi kuliner, hingga dalam sebentuk karya sastra. Termasuk, tercatat dalam kesusastraan klasik Hikayat Amir Hamzah yang secara otomatis telah membuktikan bahwa makanan terlezat di dunia asal Sumatra ini sudah dikenalkan dalam seni masakan Melayu sejak 1550-an.
Hikayat Amir Hamzah merupakan epos Melayu berasal dari Islam-Parsi yang menceritakan kegagahan perjuangan Amir Hamzah dalam berdakwah dari Masyrik ke Magrib. Kedudukan Hikayat Amir Hamzah sangat populer di kalangan bangsa Melayu dan biasa dibacakan para prajurit sebelum pergi berperang demi mendapatkan semangat dan keberanian.
Epos ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Selain sudah dialihbahasakan ke dalam literatur Jawa, Sunda, Bali, Sasak, Palembang, dan Aceh, karya sastra ini juga sejak dulu kala disajikan ke dalam bahasa Arab, Hindi, dan Turki.
Hikayat Amir Hamzah terdiri dari 1.843 halaman dalam naskah ukuran folio.
Selain dalam Hikayat Amir Hamzah, ulasan mengenai rendang juga bertaburan di banyak naskah lama lainnya. Salah satu yang tak kalah menarik ditemukan dalam catatan harian Kolonel Stuers yang ditulis pada 1827. Dalam buku perjalanan yang memuat aneka studi mengenai sastra dan kuliner itu, Stuers menggambarkan rendang sebagai makanan yang dihitamkan dan dihanguskan.
Baca: Sumatera Apa Sumatra?
Asal-usul dan filosofi
Pencatatan mengenai rendang dimulai sejak abad 16 dan kian ramai dan massif pada abad ke-19. Keumuman pembahasan awal mula munculnya rendang dimulai dari cerita tentang masyarakat Minang di daerah darek (darat) yang biasa melakukan perjalanan menuju Selat Malaka hingga Singapura via sungai yang memakan waktu paling sepat selama satu bulan.
Karena sepanjang jalan tidak ada perkampungan, para perantau menyiapkan bekal yang tahan lama, yaitu rendang.
Masih dalam catatan Kolonel Stuers, yang dikutip Wynda Dwi Amalia dalam Randang Bundo (2019) itu diceritakan, rendang berasal dari kata “Merandang,” yakni teknik memasak santan hingga kering secara perlahan. Hal ini cocok dengan rendang yang memang butuh waktu lama untuk dimasak hingga kuahnya mengering.
Asal-usul penamaan rendang yang lebih mengarah pada teknis memasaknya ini juga dijelaskan Muthia Nurmufid dalam judul “Rendang: The Treasure of Minangkabau” di Journal of Ethnic Foods (Desember 2017). Dia menyebut kata “Merandang” merujuk pada lamanya waktu memasak rendang demi menghasilkan tekstur daging yang kering dan aroma rempah yang kuat dengan warna cokelat gelap serta bercita rasa maksimal.
“Jadi, sebenarnya rendang adalah suatu teknik memasak, bukan nama makanan,” tulis Muthia.
Baca: Sumatra dalam Catatan Ibnu Battutah
Tradisi mengawetkan makanan memang sudah dikenal masyarakat Sumatra sejak lama. Hal tersebut terungkap dalam The History of Sumatra (1811) karya William Marsden yang menjelaskan bahwa penduduk Sumatra pada abad ke-19 sudah menerapkan proses pengawetan daging.
Kembali ke sumber Wynda Dwi Amalia, dia menyebut dari istilah merandang hingga memunculkan kreasi kuliner mewah bernama rendang inilah, konon, masyarakat Sumatra percaya bahwa di balik kelezatannya, rendang memiliki banyak pesan, filosofi, dan makna.
Masyarakat Minang percaya bahwa rendang memiliki tiga makna tentang sikap, yakni kesabaran, kebijaksanaan, dan ketekunan. Ketiga unsur ini dibutuhkan dalam proses memasak rendang, termasuk memilih bahan-bahan berkualitas untuk membuatnya sehingga terciptalah masakan dengan cita rasa tinggi.
“Secara simbolik, dagiang (daging) merupakan niniak mamak (para pemimpin suku adat), karambia (kelapa) melambangkan cadiak pandai (kaum Intelektual), lado (cabai) sebagai simbol alim-ulama, dan pemasak (bumbu) menggambarkan keseluruhan masyarakat Minangkabau,” tulis dia.
Menurut Reno Andam Suri dalam Rendang Traveler: Menyingkap Bertuahnya Rendang Minang (2012), rendang menduduki kasta paling tinggi di antara hidangan lain dan sering disebut sebagai kepalo samba atau induknya makanan dalam tradisi Minangkabau.
Inspirasi
Para peneliti kuliner dunia pada abad ke-19 mengungkapkan kecurigaan bahwa rendang hadir terinsipirasi dari masakan orang-orang Arab dan India yang datang di kawasan pantai barat Pulau Sumatra.
Ada juga dugaan yang mengatakan bahwa masakan kari yang sudah menjadi makanan khas India dan diperkenalkan pada abad ke-15 di daerah Minang merupakan dasar dari rendang. Hal ini sangat mungkin mengingat adanya kontak perdagangan dengan India pada masa itu.
Sementara ahli waris takhta Kerajaan Pagaruyung juga membuka peluang adanya kemungkinan bahwa rendang merupakan kari yang diproses lebih lanjut. Yang membuatnya berbeda adalah rendang memiliki sifat yang lebih kering, sehingga bisa jauh lebih awet ketimbang kari.
“Sejak abad ke-14, sudah banyak orang India yang tinggal dan mengenal rempah atau bumbu di daerah Minang,” tulis Wynda, masih dalam buku yang sama.
Sumber lain menyebut, besar kemungkinan kehadiran rendang justru terinspirasi dengan sajian kuliner Eropa. Salah satunya diceritakan Janet P. Boileau, dalam A Culinary History of the Portuguese Eurasians: The Origins of Luso-Asian Cuisine in the Sixteenth and Seventeenth Centuries (2010).
Baca: Marco Polo Merekam Sumatra
Dalam buku itu, Boileau mengatakan pada abad 16, teknik memasak dan pengawetan daging ala-Portugis yang biasa disebut Luso sudah menyebar dari Semenanjung Malaka hingga Sumatra. Ciri khas Luso ditunjukkan dengan tingginya konsumsi daging berikut ragam teknik pengolahannya seperti assado (memanggang), recheado (mencampur daging dengan bahan bumbu), buisado (merebus), dan bafado (mengukus).
Terlepas dari mana pun kuliner rendang terinspirasi, nyata-nyatanya rendang diakui sebagai masakan paling enak di seluruh dunia. Bahkan, mengalahkan aneka hidangan ala India, Arab, dan Eropa.
Salah satunya, rendang ditempatkan pada peringkat pertama daftar World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) versi CNN International pada 2011.
Kelezatan rendang relatif gampang ditemui karena telah menjadi menu utama dan andalan di seluruh rumah makan padang di Indonesia. Namun, dalam sejarahnya, rendang ialah sajian istimewa yang biasa dihidangkan masyarakat Sumatra di setiap dua hari raya, yakni Idulfitri dan Iduladha.