Suma.id: Wakil Presiden RI Mohammad Hatta ialah penganut Islam yang taat. Ia tak pernah meninggalkan salat dan melulu berpuasa sekalipun saat menjalankan perjalanan dinas.
Begitulah secuplik kisah ketaatan putra Sumatra yang lahir pada 12 Agustus 1902 tersebut. Dalam buku Mengenang Bung Hatta (1988), Iding Wangsa Widjaja menambahkan, tokoh berdarah Minangkabau itu juga dikenal sangat jujur. Saking jujurnya, Bung Hatta tidak pernah mau menggunakan uang dan fasilitas negara untuk keperluan dirinya sendiri.
Sekali waktu, Presiden Sukarno merayu Bung Hatta agar mau pergi haji dengan menggunakan pesawat terbang yang dibiayai negara. Bung Karno menganggap hal itu biasa dan lumrah lantaran sudah banyak jasa yang diberikan Hatta kepada bangsa dan negara. Akan tetapi, sosok yang dilahirkan di Bukittinggi, Sumatra Barat itu dengan tegas menolak. Katanya, saya ingin pergi haji sebagai rakyat biasa, tidak atas nama Wakil Presiden Indonesia.
Atas sisi keagamaan Hatta yang begitu kuat inilah, Bung Karno melulu melibatkan pria bernama asli Mohammad Athar ini dalam kebijakan-kebijakan luar negeri, terutama mengenai jalinan persahabatan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah.
Kebijakan anti-Israel
Latar belakang keislaman yang kuat itu pun menjadikan Hatta begitu klop dengan Sukarno terkait kebijakan-kebijakan luar negeri, terlebih soal respons terhadap pendirian negara Israel pada 1948.
Dwi-tunggal ini sama-sama menganggap bahwa klaim kemerdekaan Israel bukan lain sebagai bentuk kezaliman. Keduanya bersepakat, perjuangan hak warga Palestina yang notabene mayoritas muslim harus didukung Indonesia sebagai negara baru dengan penduduk penganut Islam terbesar di dunia.
Baik Sukarno maupun Hatta sudah begitu yakin, bahwa kebijakan anti-Israel yang dicetuskannya didasari semangan anti-kolonial. Maka, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Baca: Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Pertama Sumatra dan Satu-satunya
Sejarawan dan peneliti bidang politik Islam global, Greg Barton dan Colin Rubenstein menceritakan secara detail ihwal mula-mula lahirnya kebijakan anti-Israel yang diusung Sukarno dan Hatta dalam Indonesia And Israel: A Relationship In Waiting (2005).
Dalam jurnal itu disebutkan, indikasi awal kebijakan itu mulai memanas pada Juni 1952. Yakni, ketika pers Arab dan Pakistan mengutip sebuah berita dari kantor berita Antara yang menyebut pemerintah Indonesia tidak akan mengakui Israel karena mayoritas penduduk Indonesia Muslim.
Indonesia juga mempertimbangkan dukungan negara-negara Arab semasa perjuangan kemerdekaan, yang notabene telah bersatu sikap menolak Israel.
Hubungan Indonesia-Israel kian tidak bersahabat setelahnya. Pada November 1953, Indonesia menghentikan pemberian visa masuk bagi warga negara Israel. Awalnya hanya untuk orang-orang dengan paspor diplomatik, tapi kemudian berlaku bagi warga Israel secara keseluruhan.
Dirayu dan ditolak
Masih dalam catatan yang sama, kebijakan anti-Israel Pemerintah Indonesia itu diawali dengan penolakan tegas adanya hubungan diplomatik yang diajukan Israel pada masa-masa awal kemerdekaan.
Mulanya, pada Desember 1949, Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben Gurion mengirim telegram kepada Sukarno dan Hatta yang berisi ucapan selamat atas penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Hal itu ditindak-lanjuti pada Januari 1950 dengan mengutus Menteri Luar Negeri Israel, Moshe Sharett yang mengirimkan pesan bahwa negara Yahudi itu telah memberikan pengakuan penuh kemerdekaan Indonesia.
Saat menerima pesan telegram tersebut, Sukarno menyerahkan keputusan untuk membalas ucapan itu kepada Hatta. Sukarno menganggap, Hatta yang dikenal sebagai sosok religius dan santun akan dengan sangat mudah dan lugas apa yang diinginkan pemerintah dan rakyat Indonesia.
Hatta pun lantas menanggapi pesan Sharett dan Ben Gurion hanya dengan ucapan terima kasih. Tetapi, dengan sangat tegas, Hatta tetap tidak mau memberikan timbal balik berupa pengakuan diplomatik.
Menanggapi keengganan Indonesia, Sharett kembali menulis surat kepada Hatta soal rencana pengiriman misi persahabatan ke Indonesia. Lagi-lagi, rencana itu pun direspons Hatta dengan sopan bahwa agenda itu benar-benar tidak dibutuhkan.
Penolakan Indonesia terhadap Israel kian jelas dengan menguatnya watak anti-imperialisme Sukarno dan Hatta. Dalam pidatonya di tahun 1962, dengan begitu lantang Sukarno bilang, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel!”