Suma.id: Pengusutan kasus korupsi cukai di Bintan ditelusuri KPK dan diduga ada keterlibatan mantan Gubernur Kepulauan Riau, Nurdin Basirun. Lembaga antirasuha tersebut mendalami dugaan korupsi pengaturan barang kena cukai dalam pengelolaan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Bintan pada 2016-2018. Kasus itu menjerat Bupati nonaktif Bintan AS.
“Penyidik mengonfirmasi antara lain terkait dengan peran saksi yang turut menyetujui usulan tersangka dalam menentukan pihak-pihak yang tergabung dalam Badan Pengusahaan Kawasan Bintan Wilayah Kabupaten Bintan (BP Bintan),” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara bidang pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding melalui keterangan tertulis, Jumat, 12 November 2021.
KPK memeriksa Nurdin di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Nurdin tengah menjalani pidana terkait perkara suap izin proyek reklamasi.
KPK juga memeriksa Asisten II Bidang Ekonomi Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Syamsul Bahrum; Wali Kota Tanjungpinang periode 2013-2018, dan swasta Norman. Ketiganya diperiksa di Polres Tanjungpinang.
Ipi menuturkan para saksi didalami pengetahuannya terkait beberapa perusahaan yang mendapat izin kuota rokok dan minuman alkohol di BP Bintan. Izin itu didapatkan dari AS.
“Diduga telah mendapat persetujuan dari tersangka AS dan kawan-kawan, serta dugaan aliran uang yang diterima oleh tersangka AS atas persetujuan dimaksud,” ucap Ipi.
KPK telah menahan AS dan pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan MSU. Tindakan korupsi keduanya sudah dipantau sejak Februari 2021.
Keduanya diduga melakukan rasuah terkait pengadaan kuota rokok di Bintan sejak 2016. AS yang juga wakil ketua dewan kawasan Bintan diduga memanfaatkan jabatannya untuk mengumpulkan distributor rokok sekitar Juni 2016.
Pertemuan untuk membahas pengajuan kuota rokok di Bintan. Dalam pertemuan, para distributor diduga memberikan uang kepada Apri agar mendapatkan kuota yang diinginkan.
Lembaga Antikorupsi menduga AS menerima Rp6,3 miliar. Sementara itu, MSU diduga menerima Rp800 juta. Negara mengalami kerugian mencapai Rp250 miliar akibat perbuatan keduanya.