SUMA.ID – Analis komunikasi politik, Hendri Satrio, memberikan apresiasi terhadap perkembangan layanan publik berbasis teknologi daring di Indonesia. Namun, pria yang akrab disapa Hensa ini menyoroti pentingnya keamanan siber untuk mendukung ekosistem digital yang semakin berkembang.
Menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2023 telah melampaui 221 juta orang. Angka ini menunjukkan potensi besar untuk pertumbuhan ekonomi digital, tetapi juga memunculkan tantangan dalam menjaga keamanan siber. “Layanan daring memang memudahkan, tetapi apakah keamanan sibernya sudah memadai?” tanya Hensa pada Selasa, 28 Januari 2025.
Digitalisasi dan Tantangan Keamanan Siber
Pemerintah Indonesia terus mendorong digitalisasi di berbagai sektor, salah satunya melalui sistem coretax yang diterapkan Direktorat Jenderal Pajak. Namun, Hensa menilai bahwa kebijakan digitalisasi ini belum diimbangi dengan regulasi keamanan siber yang memadai. Ia mencontohkan insiden peretasan Pusat Data Nasional di Surabaya sebagai pelajaran penting.
“Kasus peretasan tersebut seharusnya menjadi momentum untuk mempercepat pengesahan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025,” ujar Hensa. Ia menegaskan bahwa regulasi yang kuat akan menjadi fondasi penting untuk melindungi infrastruktur digital.
Belajar dari Negara Tetangga
Hensa membandingkan pendekatan keamanan siber Indonesia dengan negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Singapura, misalnya, telah memiliki Cybersecurity Act 2018 yang memberikan wewenang kepada Badan Keamanan Siber Singapura (CSA) untuk mengawasi infrastruktur kritis dan menangani insiden siber dengan cepat.
Sementara itu, Malaysia menerapkan National Cyber Security Policy melalui Cyber Security Malaysia untuk memastikan kesiapan siber nasional. Di Amerika Serikat, Cybersecurity and Infrastructure Security Agency (CISA) mengadopsi pendekatan komprehensif untuk melindungi aset nasional dari ancaman siber sejak dini.
“Di Indonesia, keamanan siber sering baru dipikirkan setelah sistem diluncurkan. Padahal, standar keamanan harus diterapkan sejak tahap perencanaan,” kata Hensa, merujuk pada sistem coretax yang memiliki tujuan baik namun rentan jika tidak dilindungi dengan baik.
Pentingnya UU Keamanan dan Ketahanan Siber
Hensa menekankan bahwa pengesahan UU KKS akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan digital pemerintah. “Masyarakat akan lebih percaya menggunakan layanan daring jika sistemnya terjamin keamanannya,” ujarnya.
Selain itu, keamanan siber yang kuat juga dapat menarik investasi asing. Hensa mencontohkan Estonia, yang dikenal memiliki sistem keamanan siber terbaik, sehingga berhasil memikat investor global. “Keamanan siber bukan hanya soal melindungi data, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi digital,” tambah pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI ini.
Langkah ke Depan untuk Indonesia Digital
Dengan jumlah pengguna internet yang terus bertambah, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam ekonomi digital. Namun, tanpa regulasi dan infrastruktur keamanan siber yang memadai, potensi ini dapat terhambat. Pengesahan UU KKS dan penerapan standar keamanan sejak awal pengembangan sistem menjadi langkah krusial untuk mewujudkan ekosistem digital yang aman dan terpercaya.