SUMA.ID -Industri otomotif Indonesia menghadapi tantangan serius akibat lonjakan impor kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) dan truk dari Tiongkok. Perubahan tren pasar ini menyebabkan penurunan drastis produksi mobil konvensional, memicu ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi ribuan pekerja. Artikel ini mengulas dampak banjir impor mobil listrik, tantangan industri lokal, dan solusi untuk menjaga keberlangsungan sektor otomotif nasional.
Dampak Lonjakan Impor Mobil Listrik
Maraknya impor BEV dan truk Tiongkok telah mengguncang industri otomotif lokal. Menurut data, pangsa pasar mobil bermesin bensin (ICEV) turun 15% hingga Mei 2025, sementara impor mobil listrik melonjak hingga 64% dari total penjualan otomotif. Kebijakan insentif impor BEV, yang dikenal sebagai “honeymoon program,” menjadi pendorong utama tren ini.
Penurunan produksi mobil konvensional berdampak langsung pada industri komponen. Pabrik-pabrik lokal mengalami penurunan permintaan, yang berujung pada ancaman PHK massal di sektor otomotif. Efek domino ini juga terasa pada rantai pasok, terutama pemasok komponen lokal yang bergantung pada produksi domestik.
Industri Lokal Kesulitan Bersaing
Pabrik mobil listrik lokal menghadapi kesulitan besar karena pasar mereka terserap oleh BEV impor. “Produksi BEV lokal jauh di bawah target karena didominasi produk impor,” ungkap Rudi Santoso, peneliti dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia.
Selain BEV, masuknya truk Tiongkok juga memperparah situasi. Pabrikan truk lokal kehilangan pangsa pasar, yang memaksa mereka mengurangi produksi. Akibatnya, pemasok komponen otomotif lokal ikut terpukul, menciptakan tekanan ekonomi yang signifikan di seluruh ekosistem industri.
Penyebab dan Ketidakseimbangan Kebijakan
Menurut para ahli, ketidakseimbangan kebijakan pemerintah menjadi akar masalah. Pemerintah gencar mempromosikan elektrifikasi kendaraan sebagai bagian dari transisi energi, namun industri lokal belum siap bersaing dengan produk impor yang mendapat insentif besar. Program pembebasan bea masuk untuk BEV impor, yang berlaku hingga Desember 2025, telah mendorong kenaikan impor hingga 29.100 unit pada Januari–Juli 2025, naik signifikan dari 19.000 unit pada 2024.
Kebijakan ini awalnya bertujuan mendorong produsen asing untuk membangun fasilitas produksi lokal. Namun, realitasnya, impor BEV justru menggerus pasar domestik dan berpotensi merugikan keuangan negara, dengan nilai impor mencapai Rp14,5 triliun dalam tujuh bulan pertama 2025.
Tuntutan Industri: Kebijakan yang Berimbang
Pelaku industri otomotif mendesak pemerintah untuk mengevaluasi strategi elektrifikasi nasional. Mereka meminta kebijakan yang lebih melindungi manufaktur lokal agar transisi ke kendaraan listrik tidak mengorbankan industri dalam negeri. “Kami berharap ada regulasi yang mendukung produksi lokal tanpa memicu PHK,” kata Budi Hartono, perwakilan dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo).
Meskipun data resmi jumlah pekerja yang terdampak PHK belum dirilis, Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) melaporkan adanya pengurangan tenaga kerja di beberapa perusahaan komponen akibat penurunan permintaan domestik dan banjir impor BEV.
Solusi untuk Keberlangsungan Industri Otomotif
Untuk mengatasi krisis ini, beberapa langkah strategis dapat diambil:
- Revisi Kebijakan Insentif: Pemerintah perlu menyeimbangkan insentif antara BEV impor dan produksi lokal, seperti memberikan subsidi untuk produsen domestik atau meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
- Dukungan untuk UMKM Otomotif: Insentif bagi usaha kecil dan menengah di sektor komponen otomotif dapat memperkuat rantai pasok lokal.
- Regulasi Jangka Panjang: Kebijakan yang jelas dan berpihak pada industri lokal diperlukan untuk menarik investasi dan mendorong produksi BEV dalam negeri.
- Pelatihan Tenaga Kerja: Program pelatihan untuk pekerja otomotif dapat membantu mereka beradaptasi dengan teknologi kendaraan listrik, mengurangi risiko PHK.
Kesimpulan
Banjir impor mobil listrik dan truk Tiongkok mengancam keberlangsungan industri otomotif lokal, dengan penurunan produksi dan ancaman PHK sebagai dampak nyata. Meskipun elektrifikasi kendaraan penting untuk transisi energi, kebijakan yang tidak seimbang dapat merugikan ekonomi nasional. Pemerintah perlu merancang regulasi yang mendukung produksi lokal dan melindungi pekerja agar transformasi menuju kendaraan listrik berjalan harmonis tanpa mengorbankan industri dalam negeri.
Kata Kunci: Mobil Listrik Impor, Industri Otomotif Lokal, PHK Otomotif, Elektrifikasi Kendaraan, Kebijakan Insentif BEV, Truk Tiongkok, Produksi Mobil Lokal















