suma.id -kecerdasan Buatan (AI) telah menjelma menjadi elemen kunci dalam strategi pertahanan siber di wilayah Asia Pasifik. Bukan lagi sekadar teknologi pendukung, AI kini menjadi tulang punggung keamanan digital. Artikel ini mengulas temuan survei IDC 2025 yang dilakukan atas nama Fortinet, perusahaan keamanan siber global, serta dampak AI terhadap keamanan, tenaga kerja, dan investasi di kawasan ini.
Adopsi AI dalam Keamanan Siber: Fakta dan Angka
Berdasarkan survei IDC 2025, 84% organisasi di Asia Pasifik telah mengintegrasikan AI ke dalam sistem keamanan mereka. Teknologi ini merevolusi cara organisasi mendeteksi ancaman, merespons insiden, dan mengelola risiko siber. AI tidak hanya meningkatkan kecepatan dan akurasi, tetapi juga memperluas skala operasi keamanan siber, sekaligus membentuk ulang strategi perekrutan dan alokasi anggaran.
Manfaat AI dalam Pertahanan Siber
AI memberikan sejumlah keunggulan dalam pertahanan siber, termasuk:
- Deteksi Ancaman Otomatis: Mengidentifikasi potensi risiko secara real-time.
- Respons Cepat: Mempercepat penanganan insiden siber.
- Intelijen Ancaman yang Diperluas: Memberikan wawasan mendalam tentang pola serangan.
Namun, AI juga menjadi alat bagi pelaku kejahatan siber. Sekitar 61% organisasi di Asia Pasifik melaporkan menjadi sasaran serangan berbasis AI dalam setahun terakhir. Dari jumlah tersebut, 64% mengalami peningkatan volume ancaman hingga dua kali lipat, dan 29% bahkan tiga kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa AI tidak hanya memperkuat pertahanan, tetapi juga meningkatkan kecanggihan serangan siber.
Evolusi AI: Dari Deteksi ke Respons Cerdas
Penggunaan AI dalam keamanan siber telah melampaui sekadar deteksi ancaman. Kini, teknologi ini mendukung berbagai fungsi canggih, seperti:
- Respons Otomatis: Mengurangi waktu reaksi terhadap ancaman.
- Pemodelan Ancaman Prediktif: Memprediksi serangan sebelum terjadi.
- Analitik Perilaku: Mengidentifikasi anomali berdasarkan pola pengguna.
- Intelijen Ancaman: Memberikan data kontekstual untuk pengambilan keputusan.
- Respons Insiden Berbasis AI: Mempercepat investigasi dan penanganan.
Selain itu, Generative AI (GenAI) mulai dimanfaatkan untuk membuat playbook keamanan, memperbarui aturan, mendeteksi social engineering, dan mendukung investigasi terbimbing. Meski begitu, banyak organisasi masih ragu untuk mengadopsi otomatisasi penuh seperti auto-remediation. AI lebih sering berperan sebagai “asisten” bagi tim keamanan, bukan pengambil keputusan utama.
Dampak AI pada Tenaga Kerja Keamanan Siber
Adopsi AI telah mendorong munculnya peran-peran baru dalam keamanan siber. Organisasi di Asia Pasifik kini mencari talenta untuk posisi seperti:
- Security Data Scientist: Menganalisis data keamanan menggunakan AI.
- Analis Intelijen Ancaman: Menyusun strategi berdasarkan intelijen AI.
- Insinyur Keamanan AI: Mengembangkan solusi berbasis AI.
- Peneliti Keamanan AI: Meneliti ancaman dan inovasi AI.
- Ahli Respons Insiden Berbasis AI: Menangani insiden dengan dukungan AI.
Permintaan akan keahlian ini mencerminkan kebutuhan akan tenaga kerja yang mampu mengelola teknologi AI dalam lingkungan keamanan yang semakin kompleks.
Investasi dan Konsolidasi untuk Masa Depan
Survei IDC juga mengungkapkan bahwa 80% organisasi di Asia Pasifik meningkatkan anggaran keamanan siber, meskipun sebagian besar kenaikannya di bawah 5%. Prioritas investasi untuk 12–18 bulan ke depan meliputi:
- Keamanan Identitas: Melindungi akses pengguna.
- Keamanan Jaringan: Memperkuat infrastruktur digital.
- SASE/Zero Trust: Mengadopsi model keamanan tanpa kepercayaan.
- Ketahanan Siber: Membangun sistem yang tahan terhadap serangan.
- Perlindungan Aplikasi Cloud-Native: Mengamankan aplikasi berbasis cloud.
Selain itu, 97% organisasi sedang mengevaluasi atau telah mengadopsi konsolidasi antara keamanan dan jaringan untuk menyederhanakan alat dan meningkatkan efisiensi operasional.
Pandangan Pakar tentang Kematangan Keamanan Siber
Simon Piff, Research Vice-President IDC Asia-Pacific, menyatakan bahwa temuan ini menunjukkan kematangan keamanan siber yang semakin meningkat di kawasan ini. Organisasi tidak lagi hanya bereksperimen dengan AI, tetapi telah mengintegrasikannya ke dalam strategi deteksi ancaman, respons insiden, dan pengembangan tim keamanan.
Sementara itu, Edwin Lim, Country Director Fortinet Indonesia, menegaskan bahwa Fortinet terus mendukung transformasi ini dengan mengintegrasikan AI ke dalam platform keamanannya. Pendekatan ini memungkinkan deteksi ancaman yang lebih cepat, respons yang lebih cerdas, dan operasi yang lebih tangguh.
Kesimpulan
AI telah menjadi pilar utama dalam keamanan siber di Asia Pasifik, mengubah cara organisasi mendeteksi, merespons, dan mencegah ancaman. Meski memberikan keunggulan kompetitif, AI juga menambah kompleksitas dengan munculnya serangan berbasis AI yang lebih canggih. Dengan investasi yang terus meningkat dan munculnya peran baru, wilayah ini sedang menuju era keamanan siber yang lebih matang dan adaptif.
Untuk informasi lebih lanjut tentang solusi keamanan siber berbasis AI, kunjungi situs resmi Fortinet atau laporan lengkap IDC 2025.















