Suma.id : Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandar Lampung mengadakan polling terbuka guna mengetahui kondisi para jurnalis perempuan. Pelaksanaan jajak pendapat itu sejak 1-10 Mei 2021. Tahapannya, menyusun kuesioner dan pengumpulan data sampel. Kemudian, penyebaran kuesioner secara online pada 11-16 Mei.
Ketua AJI Bandar Lampung Hendry Sihaloho menjelaskan AJI mendata sebanyak 45 jurnalis perempuan di Lampung. Mereka bekerja di pelbagai perusahaan media, baik lokal maupun nasional.
“Dari jumlah tersebut, sebanyak 30 jurnalis perempuan yang bersedia mengisi kuesioner. Mereka terverifikasi sebagai jurnalis aktif, bukan mantan jurnalis,” kata Hendry melalui keterangan tertulis, Senin, 24 Mei 2021.
Ia melanjutkan ada sejumlah persoalan dan solusi yang bisa dilihat dari hasil pollling tersebut. Hendry memaparkan sejumlah persoalan tersebut. Adapun sejumlah masalah tersebut diantaranya 37,9% jurnalis perempuan menerima upah di bawah upah minimum provinsi (UMP).
Menurutnya, berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung ditetapkan sebesar Rp2.432.001. Hasil polling, 10 dari 30 jurnalis perempuan menerima upah sekitar Rp1 juta-Rp2,3 juta. Kemudian, satu jurnalis perempuan mendapat upah kurang dari Rp1 juta per bulan. Artinya, sekitar 37,9% jurnalis perempuan menerima upah di bawah UMP. Selebihnya, 63,3% sesuai UMP. Lalu, 13 jurnalis perempuan mendapat upah sekitar Rp2,4 juta-Rp3,7 juta. Kemudian, empat jurnalis perempuan diupah Rp3,8 juta-Rp5 juta, serta dua jurnalis perempuan menerima upah lebih dari Rp5 juta per bulan. Sisi lain, dua dari 30 jurnalis perempuan pernah mengalami pemotongan upah.
Selanjutnya, sebanyak 20 jurnalis perempuan (66,7%) mendapatkan jaminan kesehatan dari perusahaan. Sisanya, 10 jurnalis perempuan (33,3%) tidak memperoleh jaminan kesehatan. Adapun yang mendapat jaminan ketenagakerjaan sebanyak 17 jurnalis perempuan (56,7%). Selebihnya, 13 jurnalis perempuan di Lampung (43,3%) tidak memperoleh jaminan ketenagakerjaan dari kantor.
Ketika ditanyakan soal cuti hamil, Hendry menjawab sebanyak 13 dari 30 jurnalis perempuan (43,3%) menjawab iya. Namun, terdapat satu jurnalis perempuan yang tidak mendapatkan hak cuti hamil. Sisanya, 16 orang menjawab belum pernah hamil.
Selain memenuhi pekerjaan utama, menurut Hendry, sebanyak 22 jurnalis perempuan (73,3%) pernah mendapatkan pekerjaan tambahan. Dari angka tersebut, hanya 12 jurnalis perempuan yang mendapatkan upah tambahan. Sisanya, 45,5% (10 jurnalis perempuan) tidak menerima upah tambahan. Di tempat bekerja, 20 dari 30 jurnalis perempuan yang disurvei mendapatkan peningkatan kompetensi, seperti pelatihan. Sisanya, 10 jurnalis perempuan (33,3%) tidak memperoleh peningkatan kompetensi dari perusahaan media.
Kemudian, sebanyak 25 jurnalis perempuan atau 83,3% menyebut terdapat jenjang karier di perusahaan masing-masing. Namun, lima dari 30 jurnalis perempuan (16,7%) menyebut tak ada jenjang karier.
Pada bagian lain, Koordinator Polling AJI Bandar Lampung, Alfanny Pratama, mengungkapkan, secara umum, para responden tidak pernah mendapatkan kekerasan fisik di tempat bekerja. Namun, dua dari 30 jurnalis perempuan mendapatkan pelecehan seksual secara verbal atau fisik di kantor. Tak hanya itu, lima wartawati mengalami diskriminasi dan rasis di tempat bekerja.
Menurutnya, saat menjalankan kerja-kerja jurnalistik, sebanyak 11 jurnalis perempuan (36,7%) pernah mengalami pelecehan seksual secara verbal atau fisik. Kemudian, dua jurnalis perempuan menerima kekerasan, serta sembilan reporter perempuan mengalami diskriminasi dan rasialisme ketika peliputan.
Alfanny juga menyatakan sebanyak 26 dari 30 jurnalis perempuan (86,7%) pernah stres karena pekerjaan. Hanya empat orang yang tidak pernah mengalami stres. Lalu, 10 dari 30 jurnalis perempuan (33,3%) telah berserikat (bergabung dengan organisasi). Sisanya, 20 jurnalis perempuan di Lampung tidak berserikat.
Setelah mengisi bagian pengalaman, para responden juga diminta menjawab persoalan kondisi terkini yang dirasakan. Metodenya, responden diberi lima pilihan, yaitu sangat tidak setuju, tidak setuju, netral, setuju, dan sangat setuju.
“Hasilnya, 56,7% (17 jurnalis perempuan) tidak setuju bahwa perusahan mereka tak memenuhi hak-hak pekerja. Lima orang atau 16,7% sangat tidak setuju, netral (tujuh orang atau 23,3%), dan satu orang setuju,” ujar Alfanny.
Menurutnya, jurnalis perempuan merasa berkembang secara pengetahuan di tempat bekerja. Ketika ditanya soal ini, sebanyak 11 orang tidak setuju bahwa mereka tak berkembang. Kemudian, lima orang setuju dan netral sebanyak tiga orang. Sebanyak delapan wartawati (26,7%) merasa beban pekerjaannya tinggi. Sedangkan yang netral sebanyak 13 jurnalis perempuan. Tujuh orang merasa beban pekerjaannya tidak tinggi, serta dua orang merasa beban pekerjaannya sama sekali tidak tinggi.
Alfanny juga menyatakan beban kerja oleh perusahaan sudah sesuai upah. Tiga dari 30 jurnalis perempuan (10%) menjawab sangat tidak setuju. Mereka merasa beban pekerjaan tidak sesuai dengan upah. Kemudian, 11 orang tidak setuju. Sedangkan yang menjawab setuju sebanyak enam orang, dan 10 jurnalis perempuan (33,3%) memilih netral. Pada sudut lain, bagi yang merasa beban kerja tinggi berdampak sering salah dan keliru dalam pekerjaan. Sebanyak 11 orang menjawab tidak setuju dan satu orang sangat tidak setuju. Bagi yang merasa setuju sebanyak delapan orang, sangat setuju satu orang, dan memilih netral sebanyak sembilan orang.
Selain kekeliruan, 10 jurnalis perempuan atau 33,3% setuju, serta satu orang sangat setuju bahwa beban kerja yang tinggi berdampak kepada kesehatan dan mental. Akan tetapi, 12 orang tidak setuju, sangat tidak setuju (satu orang). Pilihan yang netral sebanyak enam orang atau 20%.
Alfanny melanjutkan ada responden yang setuju bahwa kantornya tidak demokratis sebanyak dua jurnalis perempuan. Sebanyak 15 responden tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Kemudian, enam responden sangat tidak setuju, dan tujuh responden memilih netral. Ia juga menjelaskan empat dari 30 jurnalis perempuan sangat setuju bahwa merasa tidak nyaman ketika bercanda mengarah ke pelecehan seksual secara verbal. Tujuh jurnalis perempuan menyatakan setuju. Sedangkan responden yang memilih netral sebanyak sembilan orang. Sisanya, enam responden tidak setuju, dan empat responden menjawab sangat tidak setuju.
Anggota Divisi Pendidikan AJI Bandar Lampung itu juga mengungkapkan mayoritas responden merasa masih rawan menjadi korban pelecehan seksual saat peliputan, yakni 13 jurnalis perempuan atau 43,3%. Tujuh orang menjawab setuju. Lalu, satu orang menjawab sangat tidak setuju, dan dua orang tidak setuju, Sebanyak dua responden menyatakan setuju bahwa masih mengalami diskriminasi di kantor. Delapan orang memberi jawaban sangat tidak setuju, dan 13 orang atau 43,3% yang menjawab setuju. Hal ini menunjukkan mereka tidak mengalami diskriminasi di tempat bekerja. Sisanya, tujuh responden atau 23,3% memilih netral.
Ia menambahkan ada 15 orang atau 50% setuju bahwa liburan sebagai solusi agar tidak stres. Kemudian, 11 orang atau 36,7% menjawab sangat setuju akan waktu liburan. Meski demikian, dua orang atau 6,7% menjawab tidak setuju, dan sisanya dua orang atau 6,7% memilih netral.