Suma.id: Pertarungan fakta dan kabar bohong sangat lazim terjadi di era post-truth. Publik akan cenderung gampang terombang-ambing kabar yang tidak jelas dan valid di tengah melubernya informasi sekarang ini.
Dampaknya, pertautan komunikasi yang terjadi akan nihil makna karena masing-masing orang kekeh terhadap pendapatnya secara membabi buta.
Wakil Ketua Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar menyebut, ada penyebab-penyebab tertentu yang menjadikan komunikasi antarpihak tidak bisa menghadirkan makna yang bermanfaat bagi publik.
“Ada sembilan hal yang menjadikan sebuah komunikasi kehilangan makna. Pertama adalah komunikator yang tidak kredibel. Kedua, sekaligus tidak otentik,” kata sosok yang juga menjabat Direktur Utama PT Masa Kini Mandiri (Lampung Post) tersebut dalam webinar bertema “Ketika Komunikasi Kehilangan Makna” yang disitat Suma.id dari akun Youtube Solopos FM, Minggu, 23 Januari 2021.
Menurutnya, sebabak komunikasi kian tidak berarti ketika apa yang disampaikan tanpa menimbang keotentikan data. Misalnya, seseorang mengatakan teori-teori yang justru tidak diterapkan atau relatif berseberangan dengan perilakunya di dunia nyata.
“Semisal ada pejabat atau politikus yang berkata ‘Hindari korupsi dari mulai ranah keluarga’. Ternyata beberapa bulan kemudian dia justru tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” kata dia.
Faktor ketiga adalah distrust atau hilangnya kepercayaan dari publik. Abdul Kohar berpendapat, faktor ini, bisa jadi, sebagai dampak dari dua penyebab sebelumnya.
“Akhirnya orang yang melihat akan berpendapat dia sebagai orang yang pandai bicara, bukan teladan dalam perilaku,” kata jurnalis senior tersebut.
Penyebab yang menjadikan komunikasi kehilangan makna yang keempat, kata Abdul Kohar, ialah komunikator yang tidak kompeten. Kelima, masih adanya informasi yang disembunyikan atau komunikator yang tidak terbuka.
“Orang yang bukan ahli vaksin tidak pas dimintai pendapat tentang vaksin. Di dunia jurnalistik, kompetensi seseorang yang akan dijadikan narasumber saat diwawancara ini ditimbang dengan matang,” ujar dia.
Terpaan hoaks
Abdul Kohar menyebut faktor berikutnya yang menjadi penyebab sebuah komunikasi tidak bermanfaat adalah ketika seseorang berhadapan dengan kelompok atau masyarakat yang sudah terpapar informasi palsu.
“Komunikan yang sudah terimbas ini akan sulit. Kalau sudah percaya dengan berita bohong maka ia akan dikuasai hoaks,” kata dia.
Penyebab ketujuh dan kedelapan adalah literasi yang rendah dan tren politik identitas. Dia mengatakan, hal ini bukan hanya berlaku di Indonesia, akan tetapi juga di negara-negara yang lebih maju, termasuk Amerika Serikat (AS).
“Politik identitas ini sangat bersinggungan dengan situasi-situasi yang darurat. Orang gampang dicekoki dengan identitas tertentu. Seperti di AS tentang warna kulit. Donal Trump, misalnya, mengambil poin ini untuk terus memprovokasi pengikutnya,” kata Abdul Kohar.
Penyebab terakhir adalah informasi yang diskriminatif. Penyampai informasi menerapkan sikap yang berbeda ketika berhadapan dengan kelompok yang berlainan.
“Ketika berbincang, si penyampai informasi, memberlakukan regulasi yang berbeda antara kelompok A dan kelompok B,” ujar dia.
Menghadapi komunikator ngotot
Abdul Kohar menjelaskan soal cara menjadikan komunikasi tetap menghasilkan makna adalah dengan menerapkan sikap di seberang sembilan penyebab di atas. Seseorang, kata dia, harus pandai memilih komunikator yang kredibel, kompeten, dan terbebas dari hoaks.
“Komunikasi bukan barang gampang. Apalagi era post truth. Banjir informasi menyebabkan kebutuhan adanya kredibilitas,” kata dia.
Itu makanya, kata Abdul Kohar, di dunia jurnalistik ada tiga hal yang penting dilakukan wartawan ketika mendapatkan data maupun informasi.
“Rumusnya ada tiga. Yakni, pertama, verifikasi, kedua, verifikasi, dan ketiga, verifikasi. Karena tidak ada cara lain selain pemeriksaan tentang kebenaran laporan ini, ” ujar dia.
Perkaranya, dalam seri komunikasi, seseorang juga kerap berhadapan dengan komunikator yang tetap bersikukuh dengan pendapatnya padahal apa yang disampaikan memungkiri data dan fakta yang ada. Untuk satu hal ini, kata Abdul Kohar, hanya bisa diselesaikan dengan menunjukkan kepada data-data yang lebih otentik dan akurat.
“Perlihatkan apa yang menyebabkan dia bandel dan ngotot terhadap pendapatnya. Menunjukkan bisa dengan fisik peristiwa-peristiwa terkait maupun dengan data-data yang akurat, resmi, dan kredibel,” kata dia.