Bandar Lampung (Lampost.co) — Literasi keuangan dibutuhkan agar masyarakat atau konsumen memiliki pemahaman keuangan yang baik, sehingga konsumen dapat membuat keputusan keuangan yang bijak dalam mengakses berbagai produk perbankan, investasi, asuransi, maupun produk keuangan lainnya. Selain itu, literasi yang baik akan meminimalkan risiko produk keuangan, dan mendorong masyarakat untuk memiliki kemampuan perencanaan keuangan yang matang agar mempunyai daya tahan ekonomi yang kuat.
Peningkatan literasi keuangan masyarakat kian krusial di era pesatnya kemajuan teknologi dengan kompleksitas produk maupun layanan jasa keuangan yang terus meningkat. Kemudahan akses terhadap berbagai layanan produk keuangan ini memberi ruang besar untuk peningkatan inklusi keuangan. Namun, kemajuan teknologi juga memiliki berbagai risiko yang harus diwaspadai.
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS) di awal tahun 2024, menyatakan indeks literasi keuangan penduduk Indonesia sebesar 65,43 persen dan indeks inklusi keuangan sebesar 75,02 persen.
Hasil tersebut menunjukkan adanya gap antara indeks literasi keuangan dan inklusi keuangan. Artinya, ada sebagian masyarakat yang telah mengakses produk keuangan, tetapi belum memiliki literasi keuangan yang baik. Hal ini tentu memberi ruang kerentanan atau peningkatan risiko bagi konsumen terhadap produk keuangan yang diakses.
Kondisi ini juga mendorong masyarakat terjerumus masuk ke dalam bahaya produk keuangan ilegal yang kini menjamur, yaitu pinjaman online ilegal, investasi ilegal, dan judi online, atau biasa disebut triangle of evils di sektor keuangan. Aktivitas keuangan ilegal tersebut bahkan berakibat pada timbulnya kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan gangguan keamanan serta ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Apalagi, baru-baru ini berkembang secara global, isu tokoh dunia maya (selebgram) yang memanfaatkan luasnya akses media digital, yakni dengan menggunakan pengaruhnya untuk mempromosikan produk-produk keuangan tak berizin atau ilegal. Kehadiran influencer ini memperbesar tantangan terhadap pelindungan konsumen.
Kemudian, mudahnya akses terhadap layanan keuangan berbasis teknologi (fintech) juga menghadirkan fenomena over-indebtedness atau konsumen yang terjebak dalam jumlah utang berlebih. Faktor penyebabnya dapat berupa terjerat pinjaman online ilegal, ataupun praktik beli sekarang bayar kemudian (buy now pay later) yang kebablasan.
Terdapat celah pada inovasi teknologi, hukum, dan karakter masyarakat yang harus menjadi perhatian. Pada pelaku jasa keuangan ilegal, celah tersebut nampak pada mudah dan terbukanya dalam pengunggahan produk atau layanan ilegal pada aplikasi, situs, ataupun website. Kadang, pemberantasan aktivitas ilegal tersebut sulit dilakukan lantaran server berada di luar negeri. Kendala law enforcement bagi para pelaku karena kejahatan bersifat crossborder juga jadi pengganjal.
Kemudian pada sisi karakter masyarakat, konsumen kerap tidak melakukan pengecekan legalitas usaha dan terbatasnya pemahaman, sehingga terjebak dalam produk atau layanan ilegal. Oleh karena itu, literasi keuangan punya peran penting dalam mengentaskan permasalahan ini. Kebutuhan mendesak dan sikap ingin cepat kaya tanpa usaha, juga menjadi salah satu faktor terdorongnya masyarakat ke dalam aktivitas keuangan ilegal.
Kerentanan masyarakat dalam pengelolaan finansial kerap disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan literasi atas risiko produk atau layanan keuangan. Hal inilah yang membuat mereka tergiur pada tawaran yang menjanjikan keuntungan tinggi dengan risiko yang minimal.
Guna mengatasi hal ini, dibentuk Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti). Satgas ini adalah wadah koordinasi beberapa kementerian dalam pencegahan dan penanganan dugaan tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi. Sejak tahun 2017 hingga 30 September 2024, sebanyak 11.389 entitas keuangan ilegal telah diblokir. Meliputi 9.610 entitas pinjaman online ilegal, 1.528 entitas investasi ilegal, dan 251 entitas gadai ilegal.
Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan merupakan salah satu peran OJK. Lembaga negara ini berperan dalam hal tindakan preventif, pelayanan pengaduan, pembelaan hukum, dan regulasi melalui instrumen peraturan OJK, untuk pelindungan konsumen. Salah satunya dengan penerbitan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa dan Keuangan. Terbitnya aturan ini menjadi langkah OJK dalam memperkuat pelindungan konsumen dan masyarakat di lingkup jasa keuangan.
Peraturan ini juga mempertegas kewenangan OJK dalam pengawasan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dalam mendesain, menyediakan dan menyampaikan informasi, memasarkan, membuat perjanjian dan memberikan layanan atas produk atau layanan, serta melakukan penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa. Market conduct tersebut diharapkan mampu menjaga sekaligus meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap PUJK.
Adapun prinsip-prinsip pelindungan konsumen meliputi edukasi yang memadai, transparansi informasi dan keterbukaan, serta perilaku bisnis yang bertanggung jawab. Kemudian persaingan sehat, penegakkan kepatuhan, dan penanganan pengaduan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Serta perlindungan privasi, data, dan aset konsumen.
Penguatan Literasi Keuangan
Peningkatan literasi dan inklusi keuangan menjadi salah satu strategi yang menjadi pilar penyokong dalam peta jalan pengawasan Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) 2023-2027. Strategi peningkatan literasi keuangan dilakukan OJK melalui pengembangan infrastruktur keuangan, program edukasi masif, maupun edukasi tematik.
Gerakan Nasional Cerdas Keuangan Nasional (Gencarkan) juga digagas untuk mengakselerasi peningkatan angka literasi keuangan. Prinsip program ini menekankan pada kolaborasi dan sinergi seluruh pemangku kepentingan dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.
Program ini diharapkan mampu menjangkau 50 juta masyarakat Indonesia, serta melahirkan dua juta agen literasi dan inklusi keuangan, sehingga mampu memberi multiplier effect yang meluas.
Sementara pada sisi inklusi, program Gencarkan menargetkan 90 persen pelajar Indonesia memiliki tabungan. Selain itu, gerakan ini turut mendorong peningkatan akses kredit UMKM melalui program Kredit/Pembiayaan Melawan Rentenir (K/PMR) sehingga mampu menjangkau 1,6 juta debitur. Termasuk memperluas akses penggunaan produk keuangan oleh 30 persen kelompok disabilitas.
Upaya Peningkatan Literasi Keuangan di Lampung
Indeks literasi keuangan Provinsi Lampung pada tahun 2023 sebesar 61,24 persen, dan indeks inklusi keuangan 72,47 persen. Angka ini terus didorong dengan sejumlah program penguatan literasi keuangan, salah satunya oleh OJK Provinsi Lampung.
Program-program tersebut seperti implementasi Gencarkan secara aktif, mulai di tingkat sekolah, emak-emak, hingga Aparatur Sipil Negara (ASN). Upaya perluasan peningkatan literasi keuangan ini diharapkan mampu menyasar berbagai segmen usia.
Terbaru, OJK berkolaborasi dengan Universitas Lampung untuk menyampaikan materi tentang aktivitas keuangan ilegal kepada 7.080 mahasiswa calon peserta kegiatan Kuliah Kerja Nyata. Sehingga diharapkan para mahasiswa tersebut dapat menjadi agen literasi dan inklusi keuangan saat terjun ke masyarakat.