suma.id – Jakarta, 9 September 2025 – Pemerintah Amerika Serikat (AS) resmi memblokir TikTok, platform media sosial populer asal Tiongkok, mulai 19 Januari 2025. Keputusan ini didasari kekhawatiran serius terhadap keamanan nasional, terutama terkait hubungan TikTok dengan perusahaan induknya, ByteDance, yang berbasis di Tiongkok. Artikel ini mengulas alasan di balik pemblokiran TikTok, dampaknya, dan respons hukum yang diambil, dioptimalkan untuk SEO agar mudah ditemukan oleh pembaca yang mencari informasi terkini.
Latar Belakang Pemblokiran TikTok di AS
TikTok, yang digunakan oleh lebih dari 170 juta pengguna di AS, menghadapi larangan total setelah Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang pada 24 April 2024. Undang-undang ini mewajibkan ByteDance untuk menjual aset TikTok di AS sebelum 19 Januari 2025, atau aplikasi tersebut akan dilarang dari toko aplikasi seperti Google Play Store dan Apple App Store. Jika tidak mematuhi tenggat waktu, penyedia layanan internet di AS juga dilarang memberikan akses ke TikTok melalui browser.
Baca Juga: Cara Mencegah Penyalahgunaan Data di Media Sosial
Alasan Utama Pemblokiran TikTok
Pemerintah AS, melalui argumen yang disampaikan ke Mahkamah Agung, menyoroti beberapa alasan utama pemblokiran TikTok:
- Ancaman Keamanan Nasional:
- Pemerintah AS khawatir bahwa pemerintah Tiongkok dapat mengakses data pengguna TikTok di AS melalui ByteDance, yang tunduk pada undang-undang keamanan siber Tiongkok. Data sensitif, seperti lokasi, kontak, dan aktivitas daring, berpotensi digunakan untuk spionase atau pemerasan.
- AS juga mencurigai Tiongkok dapat memanipulasi algoritma TikTok untuk menyebarkan propaganda atau memengaruhi opini publik, terutama selama pemilu, yang dapat merugikan kepentingan geopolitik AS.
- Kekhawatiran Hubungan ByteDance dengan Pemerintah Tiongkok:
- ByteDance, sebagai perusahaan Tiongkok, dianggap memiliki keterkaitan erat dengan Partai Komunis Tiongkok. Meski ByteDance membantah tuduhan berbagi data pengguna dengan pemerintah Tiongkok, AS tetap waspada terhadap potensi penyalahgunaan data.
- Eksploitasi Data dan Privasi:
- Insiden pada Desember 2022, di mana karyawan ByteDance mengakses data dua jurnalis AS secara tidak sah untuk menyelidiki kebocoran informasi, memperkuat kekhawatiran AS. Insiden ini menunjukkan potensi risiko penyalahgunaan data pengguna.
- Perlindungan Anak dan Kesehatan Mental:
- Beberapa negara bagian AS mengkritik TikTok karena kurangnya pengawasan pada fitur interaktif seperti TikTok Live, yang diduga memungkinkan eksploitasi anak di bawah umur dan berdampak negatif pada kesehatan mental remaja. Survei oleh Security.org menunjukkan bahwa 50% orang tua di AS mendukung pemblokiran TikTok untuk melindungi anak-anak dari konten berbahaya.
Respons Hukum dan Upaya ByteDance
ByteDance dan TikTok tidak tinggal diam menghadapi ancaman pemblokiran:
- Gugatan Hukum: ByteDance mengajukan banding ke Mahkamah Agung AS, berargumen bahwa larangan ini melanggar Amandemen Pertama tentang kebebasan berekspresi. Namun, Mahkamah Agung menolak banding pada Januari 2025, menegaskan bahwa larangan diperlukan untuk mengatasi risiko keamanan nasional.
- Upaya Perlindungan Data: TikTok mengklaim bahwa data pengguna AS disimpan di server lokal dengan pengawasan ketat melalui US Data Security (USDS). Mereka juga meningkatkan sistem penyaringan konten untuk melindungi pengguna muda.
- Opsi Penjualan Aset: ByteDance mempertimbangkan penjualan TikTok di AS kepada investor lokal, seperti miliarder Frank McCourt atau Elon Musk. Namun, proses ini terkendala karena algoritma TikTok dianggap sebagai aset intelektual yang dilindungi pemerintah Tiongkok.
Kontroversi dan Dampak Pemblokiran
Pemblokiran TikTok memicu perdebatan sengit:
- Kebebasan Berekspresi: TikTok dan kreator konten menganggap larangan ini membatasi kebebasan digital, dengan dampak ekonomi signifikan bagi 7.000 karyawan TikTok di AS dan jutaan kreator yang mengandalkan platform ini untuk penghasilan.
- Alternatif Platform: Pasca-pemblokiran, pengguna AS beralih ke platform seperti RedNote (Xiaohongshu), Snapgram, dan media sosial dari Meta, menunjukkan pergeseran tren digital.
- Geopolitik: Pemerintah Tiongkok menyebut larangan ini sebagai tindakan politik yang diskriminatif, merusak kepercayaan investor global di AS.
Pemerintahan Biden menegaskan bahwa undang-undang ini tidak menargetkan konten atau pembicaraan, melainkan platform yang dianggap dikendalikan oleh musuh asing, sehingga tidak melanggar Amandemen Pertama.
Negara Lain yang Memblokir TikTok
AS bukan satu-satunya negara yang membatasi TikTok. Beberapa negara telah mengambil langkah serupa:
- India: Melarang TikTok sejak 2020 karena risiko privasi dan ketegangan geopolitik dengan Tiongkok.
- Albania: Memblokir TikTok selama setahun mulai 2025 akibat kasus kekerasan remaja terkait konten media sosial.
- Somalia: Melarang TikTok pada 2023 karena konten terorisme dan dampak negatif pada budaya lokal.
Tips Menjaga Keamanan Data di Media Sosial
Untuk menghindari risiko serupa di platform lain, pengguna dapat:
- Gunakan VPN: Mengamankan koneksi internet untuk melindungi data pribadi.
- Periksa Kebijakan Privasi: Pastikan platform menyimpan data di server lokal dengan pengawasan ketat.
- Batasi Data Pribadi: Hindari membagikan informasi sensitif seperti lokasi atau kontak.
- Perbarui Aplikasi: Selalu gunakan versi terbaru untuk mendapatkan patch keamanan.
Kesimpulan
Pemblokiran TikTok di AS pada 19 Januari 2025 didasari kekhawatiran terhadap keamanan nasional, potensi spionase oleh pemerintah Tiongkok melalui ByteDance, dan dampak negatif pada anak-anak. Meski ByteDance berupaya melawan larangan melalui jalur hukum dan negosiasi, Mahkamah Agung AS menegaskan keputusan ini untuk melindungi data pengguna. Dengan lebih dari 170 juta pengguna terdampak, pemblokiran ini memicu pergeseran ke platform alternatif dan memanaskan debat tentang kebebasan digital versus keamanan nasional.