Suma.id: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan mematok harga obat covid-19 molnupiravir untuk pasien dengan gejala ringan maksimal sebesar USD10 atau setara Rp140 ribu per resep.
Patokan harga itu bagian dari program WHO untuk memastikan negara-negara miskin mendapatkan akses yang adil ke vaksin, tes, dan perawatan covid-19.
Saat ini, molnupiravir yang merupakan obat dari perusahaan Merck & Co sedang menunggu izin dari Badan Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA).
Dokumen yang menguraikan tujuan Access to Covid-19 Tools Accelerator (ACT-A) hingga September tahun depan, mengatakan bahwa program tersebut akan mengirimkan sekitar 1 miliar alat tes covid-19 ke negara miskin, dan pengadaan obat untuk 120 juta pasien secara global, dari sekitar 200 juta kasus baru yang diperkirakan muncul dalam 12 bulan ke depan.
Dilansir dari Straits Times, Selasa, 19 Oktober 2021, rencana tersebut menyoroti bagaimana WHO ingin menopang pasokan obat-obatan dan alat tes dengan harga yang relatif terjangkau. Pasalnya, organisasi PBB itu tidak ingin kasus ketimpangan vaksin kembali terulang.
Seorang juru bicara ACT-A mengatakan, dokumen bertanggal 13 Oktober itu masih dalam tahap konsultasi. Ia menolak mengomentari isinya sebelum difinalisasi.
Dokumen tersebut juga akan dikirimkan kepada para pemimpin global menjelang KTT G20 di Roma pada akhir bulan ini.
ACT-A meminta G20 dan donor lain untuk pendanaan tambahan sebesar USD22,8 miliar hingga September 2022 untuk membeli dan mendistribusikan vaksin, obat-obatan dan tes ke negara-negara miskin. Mereka juga meminta agar G20 mempersempit kesenjangan besar dalam pasokan antara negara kaya dan kurang maju.
Para donor sejauh ini telah menjanjikan USD18,5 miliar untuk program tersebut.
Selain itu, dokumen tersebut juga menyebutkan 4,3 juta paket pil covid-19 untuk pasien covid-19 yang kritis dengan patokan harga sebesar USD28 (sekitar Rp400 ribu) per dosis. Namun, tidak disebutkan secara spesifik obatnya.
Saat ini negara-negara miskin melakukan sekitar 50 tes covid-19 per 100.000 orang setiap hari. Angkanya relatif rendah bila dibandingkan 750 tes di negara-negara kaya. ACT-A ingin membawa tingkat pengujian ke minimal 100 tes per 100.000 di negara berpenghasilan rendah.